“Kamu tahu, Kawan? Siapa yang paling ingin aku temui saat ini?”
“Siapa?”
“Tebak dong!”
“Doraemon?”
“Bukan.”
“Bakabon?”
“Bukan.”
“Tak tahu lah. Setahu aku cuma mereka yang kau suka.”
“Tuhan...”
“Haah...?“
“Iya, aku ingin bertemu Tuhan.”
“Gila kamu!”
“Kenapa gila? Kamu tahu siapa yang menciptakan dunia?”
“Tuhan.”
“Kamu tahu siapa yang menciptakan manusia?”
“Tuhan.”
“Kamu tahu siapa yang menciptakan Doraemon dan Bakabon?”
“Itu manusia, tolol!”
“Oh ya? Jadi bukan Tuhan?”
“Tolol!”
“Tapi kamu tahu betapa hebatnya Tuhan?”
“Tolol! Tanpa kau bilang, aku juga tahu Tuhan itu hebat. Lagi pula bisa masuk neraka aku kalau menyangkalnya.”
“Jadi kamu setuju sama aku, kan?”
“Tolol! Kamu tahu bisa masuk neraka aku kalau tak setuju.”
“Bagus, berarti aku benar‐benar harus bertemu Tuhan...”
“Shalat lah kau!”
“Apa kau bilang?”
“Kau bilang ingin bertemu Tuhan. Shalat lah, berdoa pada‐Nya. Minta semua yang kau inginkan, Kawan...”
“Benarkah? Apa kau yakin Tuhan akan memberikannya?”
“Tuhan pasti mendengarkan doa orang baik.”
“Apa aku cukup baik?”
“Entahlah, kau coba saja sendiri.”
“Tapi apa itu shalat?”
“Tolol!!!”
“Aku sudah mengerti gerakan shalat, Kawan.”
“Baguslah...”
“Aku juga sudah berdoa pada Tuhan.”
“Baguslah.”
“Tapi kau bohong.”
“Kenapa?”
“Kau bilang jika aku shalat aku bisa bertemu Tuhan.”
“Haha... Tolol!”
“Kenapa?”
“Mati dulu sana kalau kau benar‐benar ingin bertemu Tuhan.”
“Benarkah?”
“Tolol, sedang apa kamu di situ?”
“Aku mau bertemu Tuhan, Kawan...”
“Tolol, bisa mati kamu!”
“Memang. Bukankah kemarin kau yang bilang, kalau aku mati aku bisa bertemu Tuhan. Oh ya, ada pesan yang ingin kau titipkan?”
“Gila kamu!”
“Sampai juga lagi, Kawan...”
“Hei tunggu...”
“Ada apa lagi, Kawan?”
“Kamu pikir aku serius, hah?”
“Apa maksudmu?”
“Sudah kau turun dulu. Nanti aku beritahu cara bertemu Tuhan.”
“Apa? Jadi ada cara lain?”
“Iya. Turunlah...”
“Apa kau serius?”
“Iya. Turunlah...”
“Oke...”
“Kenapa kamu begitu tolol, Kawan?”
“Sudah berapa kali kau bilang aku tolol, hah?”
“Kau tahu kalau sampai kau mati, Tuhan takkan sudi menemuimu.”
“Benarkah?”
“Ya, mayatmu akan gentayangan. Kau akan jadi hantu!”
“Tapi kemarin kau yang bilang begitu.”
“Ya,
memang kalau kau mati kau bisa bertemu Tuhan. Tapi bukan dengan cara
begitu. Itu sama saja kau bunuh diri. Kau tahu, Tuhan paling murka
dengan mati bunuh diri.”
“Begitukah?”
“Ya...”
“Aku punya ide, Kawan!”
“Aku yakin ide tolol.”
“Kau bunuh saja aku, Kawan!”
“Gila!”
“Kenapa? Aku kan tidak bunuh diri...”
“Iya, tapi aku yang rugi.”
“Hmmm.. aku ada ide lain.”
“Aku tak mau dengar ide tololmu...”
“Lihat.
Kau lihat si Gendut itu, Kawan. Aku akan mengejek dan memukulnya
hingga ia kesal. Lalu aku terus mengejek dia hingga ia tak tahan. Ia
pukul aku. Tapi tak aku lawan. Aku akan menyerahkan kematianku di
tangannya.”
“Kau sudah benar‐benar gila, ya?”
“Tapi kau kan
tak rugi kawan. Lagi pula, si Gendut itu pantaslah rugi sedikit agar
pikirannya tak terlalu senang, dan perutnya bisa kurusan...”
“Kau pikir Tuhan tidak melihat, hah? Asal kau tahu, Tuhan sedang memata‐matai kita. Ia sedang mengikuti dan melihat kita.”
“Apa? Benarkah? Jadi dari tadi Tuhan melihat kita?”
“Bukan dari tadi, tapi dari dulu, tolol!”
“Lalu di mana Dia? Kenapa Dia bersembunyi? Ah kau pasti menipuku lagi...”
“Aku serius, Kawan.”“Benarkah? Kau tahu di mana Dia? Kau yang menyembunyikannya?”
“Ya Tuhan, ampunilah kawanku yang tolol ini...”
“Hei, sekarang kau bicara pada‐Nya! Ayo katakan di mana kau menyembunyikan‐Nya?”
“Dia
ada di sini, tolol. Dia ada di depan kita. Dia ada di belakang kita.
Dia ada di bawah kita. Dia ada di atas kita. Dia ada di kanan kita. Dia
ada di kiri kita. Dia ada di mana‐mana...”
“Hah, jangan kau pikir aku tolol!”
“Memang kau tolol!”
“Oke, aku percaya. Jadi apa cara lainmu itu agar aku bisa bertemu Tuhan?”
“Mana aku tahu?”
“Jadi kau membohongi aku?”
“Aku
menyelamatkanmu, tolol! Aku kan sudah bilang kau tak akan bisa bertemu
Tuhan kalau kau mati bunuh diri. Kau tak perlu buru‐buru, Tuhan sudah
punya jadwal kapan akan menemuimu. Ia sudah menentukan itu.”
“Jadi maksudmu, aku harus bersabar?”
“Bukan cuma bersabar, kau harus beriman. Kau harus beribadah. Terutama shalat...”
“Tapi aku tidak yakin, Kawan...”
“Kenapa? Kau meragukan Tuhan?”
”Aku
cuma tahu gerakan shalat. Aku tidak tahu bacaan shalat. Kamu tahu, aku
seperti sedang senam. Mana mungkin dengan hanya senam doaku
dikabulkan?”
“Ya, belajarlah. Tuhan suka orang yang mau belajar. Jangan lupa kau berdoa.”
“Aku juga tidak yakin, Kawan...”
“Kenapa?”
“Aku tidak bisa bahasa Arab...”
“Kau pikir Tuhan orang Arab?”
“Tapi bagaimana kalau sampai lusa ia tidak datang? Bagaimana kalau doaku tak dikabulkan? Apa jadinya aku, Kawan?”
“Lusa? Memangnya kau minta apa sama Tuhan?”
“Aku
terancam tidak naik kelas empat, Kawan. Aku ingin Tuhan menambahkan
sedikit garis di angka empat di raporku agar berubah jadi
sembilan.”“TOLOL!!!”